1. Kepentingan Terbaik bagi Korban
    Pencegahan Kekerasan Seksual yang mengutamakan kepentingan terbaik bagi Korban merupakan langkah pencegahan berorientasi pada Korban yang bertujuan untuk menciptakan ruang aman bagi semua sivitas akademika terutama bagi Korban untuk tidak takut melaporkan kasusnya. Upaya Penanganan Kekerasan Seksual yang mengutamakan kepentingan terbaik bagi Korban merupakan langkah yang berorientasi pada pemulihan, perlindungan, dan melibatkan persetujuan Korban dalam setiap tahapnya.
  2. Keadilan dan Kesetaraan Gender
    Pelaksanaan PPKS menerapkan nilai keadilan dan kesetaraan gender dengan menggunakan perspektif kesetaraan gender dan hak disabilitas.
  3. Kesetaraan Hak dan Aksesibilitas bagi Penyandang Disabilitas
    Pelaksanaan PPKS menerapkan nilai keadilan dan kesetaraan hak dengan menggunakan perspektif kesetaraan hak dan hak disabilitas bagi mahasiswa, pendidik, tenaga kependidikan, dan warga kampus penyandang disabilitas.
  4. Akuntabilitas
    Pelaksanaan PPKS dengan menerapkan prinsip akuntabilitas. Prinsip akuntabilitas dalam Penanganan laporan tetap berpegang pada prinsip kerahasiaan identitas pelapor (Korban/saksi Korban).
  5. Independen
    Upaya PPKS dilaksanakan secara independen, bebas dari pengaruh maupun tekanan dari pihak manapun. Dalam mewujudkan upaya-upaya, PPKS bekerja sama dengan pihak eksternal yang berpengalaman dalam penanganan Kekerasan Seksual termasuk pendampingan Korban dengan prinsip kesetaraan gender dan hak disabilitas.
  6. Kehati-hatian
    Pada aspek Pencegahan, diperlukan prinsip kehati-hatian dalam menyusun isi dari kegiatan-kegiatan kampanye dan sosialisasi. Tujuannya supaya narasi yang terbangun bukanlah pada pembatasan ruang gerak dan ekspresi mahasiswa, pendidik, tenaga kependidikan, dan warga kampus melainkan pada peningkatan kolaborasi Pencegahan Kekerasan Seksual. Dengan demikian, suasana pelaksanaan Caturdarma yang manusiawi, bermartabat, setara, inklusif, kolaboratif, serta tanpa kekerasan dapat berkembang.
  7. Konsisten
    Pelaksanaan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual yang konsisten yakni secara sistematis dan rutin, diantaranya dengan
  • melakukan sosialisasi Permendikbudristek PPKS pada setiap masa penerimaan mahasiswa baru;
  • menjalankan kolaborasi antara jajaran pengelola Perguruan Tinggi dan kelompok untuk meningkatkan kualitas kegiatan PPKS;
  • mendorong warga kampus untuk ikut aktif mengampanyekan kegiatan anti Kekerasan Seksual;
  • menguatkan Satuan Tugas untuk melaksanakan Penanganan Kekerasan Seksual sesuai dengan prosedur yang berlaku;
  • menjalankan survei Kekerasan Seksual bagi mahasiswa, pendidik, tenaga kependidikan, dan warga kampus;
  • membuat perencanaan pengembangan kegiatan PPKS.
  1. Kenyamanan dan Tanpa Paksaan
    Penanganan kekerasan seksual harus dilakukan dengan mengutamakan kenyamanan penyintas serta bebas dari paksaan atau tekanan. Saat memilih pendamping atau konselor untuk penyintas, perlu mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk jenis kelamin, usia, suku, ras, agama, pendidikan, golongan dan/atau disabilitas.
  2. Kerahasiaan dan Keamanan
    Semua pembuatan dokumentasi baik berupa audio, visual atau tulisan dilakukan atas seijin penyintas. Penyintas berhak mengetahui tujuan pembuatan dokumentasi tersebut. Semua informasi yang diberikan penyintas harus dijaga kerahasiannya guna melindungi keamanan penyintas. Bersama pendamping atau konselor, penyintas dapat menentukan informasi apa yang bersifat rahasia mutlak atau terbatas. Kerahasiaan mutlak artinya tidak boleh disebarluaskan sama sekali, sementara kerahasiaan terbatas berarti informasi dapat diberitahukan kepada pihak-pihak yang berkepentingan pada kondisi-kondisi tertentu, seperti dokter untuk visum, polisi untuk penyelidikan/penyidikan, dsb.
  3. Kepekaan terhadap Situasi Krisis
    Pelaporan dan penanganan kekerasan seksual dilakukan secara serius dan bersifat segera. Pelaksana panduan sebaiknya dilatih untuk senantiasa memiliki kepekaan terhadap situasi krisis agar dapat menjalankan fungsi dan perannya dengan baik.
  4. Pemberdayaan
    Proses pelaporan dan penanganan kekerasan seksual harus ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan penyintas. Oleh karena itu, penting untuk memberdayakan penyintas agar mereka dapat membuat keputusan secara mandiri, sambil memastikan bahwa mereka tidak merasa sendirian dalam perjuangannya. Prinsip ini perlu diingat karena ada risiko bahwa pendamping atau konselor mungkin dianggap lebih mengetahui apa yang terbaik untuk penyintas. Dalam hal ini, pendamping atau konselor harus secara konsisten mendukung dan memperkuat suara penyintas dalam proses penyelesaian masalah mereka.
×